KRBNews, Belanda - Bubarnya
kabinet Belanda pimpinan Perdana Menteri (PM) Mark Rutte beberapa hari
lalu akibat krisis ekonomi yang terus mengguncang negeri itu,
memungkinkan Pemilu yang diagendakan pada 2015 itu harus dipercepat.
Kabinet Rutte jatuh akibat terlindas krisis Zon Euro yang sebelumnya telah menghantam Yunani, Portugal, Spanyol, Skotlandia, Italia dan kini tengah mengancam Perancis, Jerman maupun Inggris.
Rutte terpaksa mengembalikan jabatan PM-nya kepada Ratu Beatrix karena tak mampu mengatasi persoalan perekonomian yang mandeg, pengangguran yang terus meningkat, dan hutang pemerintah yang semakin menggunung melampaui prediksi yang bisa dipertanggung-jawabkan. http://politik.kompasiana.com
Jika
Pemilu jadi digelar dalam dua atau tiga bulan kedepan, berarti Pemilu
kali ini sama dengan Pemilu Juni dua tahun lalu, yang dilakukan di
tengah krisis di negeri yang selama ini dikenal selalu stabil itu.
Jumlah warga eks Maluku di Belanda
Jumlah
penduduk Negeri Belanda yang katanya hampir sama banyak dengan jumlah
warga Jakarta atau sekitar 18 juta jiwa itu, sepuluh persennya adalah keturunan asing atau imigran non-Barat.
Menurut seorang jurnalis senior asal Belanda, Hilda Janssen dalam
pembicaraan dengan Antara biro Kupang empat tahun lalu, ketika ia habis
meliput pemilihan Presiden Timor Leste mengatakan, warga eks Maluku di
Belanda saat ini sudah lebih dari 100 ribu orang. Mereka
tinggal tersebar di hampir semua wilayah di Belanda setelah mendapat
bantuan pemukiman dari pemerintah. Dalam perkembangannya, ada daerah
tertentu menjadi kantong wilayah warga eks-Maluku, seperti di bagian timur Apoldo, Egecht dan Sittard di bagian selatan Belanda. Sayangnya, Hilda Janssen tidak merinci tentang jumlah warga eks Papua.
Merujuk pada Pemilu Belanda Juni 2010 lalu, peserta Pemilu berjumlah 61 partai untuk memperebutkan 76 kursi di Parlemen. Untuk
meraih satu kursi di Parlemen, suara yang terkumpul minilam 65.000
suara. Dengan jumlah partai sebanyak itu, dapat dipastikan bahwa tidak
ada partai yang bisa menang mutlak (76 kursi parlemen). Kondisi ini juga
memusingkan ketika penyusunan kabinet. Inilah salah satu sebab mengapa
kabinet Mark Rutte hanya mampu bertahan selama 558 hari. Dukungan suara
mereka di Parlemen (Partai Liberal atau VVD) sangat lemah, ditambah
pecahnya kongsi VVD dengan Parta Demokrat Kristen CDA sehingga ia harus berjibaku dengan Partai Kebebasan atau PVV pimpinan Geert Wilders yang anti-Islam itu, ketika membahas pemotongan anggaran sebesar 13,1 milyar Euro.
http://www.rnw.nl
Trend Isu
Sistem
Politik di Belanda memang memungkinkan untuk mendirikan banyak partai.
Ideologi ‘kiri’ dan ‘kanan’ tak masalah bagi negeri kincir angin ini.
Trend isu Pemilu kali ini diprediksi masih sama dengan Pemilu kali lalu,
yaitu penghematan dan integrasi kelompok migran.
Dalam berbagai kesempatan, Geert Wilders dikenal cukup intens
menyuarakan isu ini. Kita ingat, beberapa waktu lalu, aparat keamanan
Belanda (mungkin atas desakan parlemen) melakukan razia besar-besaran di
kota-kota tertentu untuk menertibkan imigran ilegal. Ini bisa saja
membuat warga eks Maluku dan Papua serta warga pendatang lainnya di sana
merasa tidak nyaman.
Jika
para tokoh eks Maluku dan Papua di Belanda cukup jeli memanfaatkan
trend isu ini, tentu mereka bisa meraih simpati para elektorat dari
kalangan keturunan non barat yang berjumlah 1,8 juta jiwa itu.
Langkah
politik ini mungkin sudah pernah dipikirkan. Dan ini jauh lebih
positif, ketimbang mereka terus-menerus berkutat dalam kegiatan ilegal
mendirikan RMS di Indonesia dari Belanda. Lebih realistis jika mereka
segera membentuk Partai Politik, lalu ikut pemilu. Taruhlah nama
partainya “Moluccas Party”, atau “Partai Satu Darah” atau apalah
namanya. Siapa tahu bisa meraih satu atau dua kursi parlemen. Apalagi
bisa lolos ke kabinet…..
Demikian
pula dengan warga Papua, daripada mati-matian berkampanye untuk
mendirikan ‘negara’ papua barat yang tentu saja akan berbenturan dengan
hukum Indonesia (makar), lebih baik berpolitiklah secara sah dan santun
di negeri Belanda.
Ini
juga sebagai ujian bagi Ratu Belanda, apakah mereka masih serius
mendukung ideologi RMS dan negara West Papua? Jika tidak, ini sekaligus
pembuktian bahwa ideologi RMS dan Papua merdeka, hanyalah ambisi politik
segelintir orang saja. Sebut saja, mereka itu ‘petualang politik’ yang
demi ambisi politik pribadi dan kelompoknya, rela mengorbankan
orang-orang Maluku dan dan lebih-lebih generasi muda Papua untuk
dibenturkan dengan aparat keamanan RI yang oleh konstitusi negeri ini
ditugaskan untuk menjaganya hingga titik darah penghabisan dari
tangan-tangan jahil kaum separatis. ***
Sumber : http://politik.kompasiana.com